Perjalanan Gede Ngurah Wididana dan Teknologi EM di Indonesia

 23 Juli 2018    Dibaca: 1249 Pengunjung

Pakoles.com_Berawal dari penelitian oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari University of The Ryukus, Okinawa, Jepang pada tahun 1980-an, terhadap sekelompok mikroorganisme yang dengan efektif dapat bermanfaat dalam memperbaiki kondisi tanah, menekan pertumbuhan mikroba yang menimbulkan penyakit, dan memperbaiki efisiensi penggunaan bahan organik pada tanaman, akhirnya ditemukan kelompok mikroorganisme yang disebut dengan Effective Microorganisms yang disingkat EM. Teknologi EM kemudian dikembangkan untuk menunjang pembangunan pertanian ramah lingkungan, menekan penggunaan pupuk kimia dan pestisida dengan sistem alami yang akhirnya dapat meningkatkan produktivitas tanah, mengurangi biaya produksi dan menghasilkan bahan pangan yang bebas bahan kimia sehingga bersih dan sehat untuk di konsumsi.

Nah perkenalan Gede Ngurah Wididana atau yang akrab disapa Pak Oeles dengan teknologi EM bukanlah kebetulan. Ditahun 1980-an Gede Ngurah Wididana menempuh jalan ilmiah dengan  memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian di Universitas Udayana, Bali. Ketika tamat pada 1985, dia tak lantas mencari pekerjaan di instansi pemerintah atau perusahaan besar. Kelahiran Busung Biu, Buleleng, Bali, 9 Agustus 1961 ini langsung mengabdikan ilmunya di sawah, alias menjadi petani. Gede Ngurah Wididana menyewa tanah seluas 2 hektare di lereng Gunung Batur, tepatnya di tepi Danau Batur yang terletak di daerah wisata Kintamani. Di daerah yang dingin dan tak terjamah aliran listrik itu dia menanam aneka sayuran.

Di sela-sela kesibukannnya sebagai petani, dia mencari hiburan dengan bertandang ke Balai Seni Toyabungkah, milik Sutan Takdir Alisyahbana (STA), yang letaknya tidak seberapa jauh dari kebun sayurnya. Anak desa itu kemudian ditawari STA bergabung di laboratorium lapangan Fakultas Pertanian Universitas Nasional. Begitulah, Wididana kemudian pindah ke Jakarta, meninggalkan kebunnya yang baru setahun dikelola, untuk mengurus kebun orang. Setahun kemudian pria berpenampilan sederhana itu mendapat beasiswa dari Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang. Di Negeri Sakura dia berkesempatan belajar langsung dari Prof. Dr. Teruo Higa, penemu teknologi EM. Menurut Wididana, teknologi EM baru ditemukan tahun 1980, untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia di bidang pertanian dan kesehatan yang mulai berlebihan.

Ketika kembali ke Jakarta pada 1990, Wididana yang bergelar Master of Agriculture bidang holtikultura langsung menjadi Dosen dan Kepala Laboratorium Fakultas Pertanian Unas. Dia sekaligus menjadi orang Indonesia pertama yang memperkenalkan teknologi EM. Di Unas, dia cuma bertahan empat tahun. Pada 1994 dia kembali ke Desa Bengkel, Busung Biu, Buleleng. Di tanah kelahirannya itu, dia berkonsentrasi membesarkan PT Songgolangit Persada. Perusahaan ini memasarkan pupuk organik yang diolah dari sampah rumah tangga. Selain itu, Wididana juga mendirikan Yayasan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA). Dia melengkapi IPSA dengan kebun seluas 7 ha sebagai sarana menerapkan teknologi EM. Namun perjuangannya untuk terus mengenalkan manfaat dan penggunaan EM yang ia bawa dari Jepang tidaklah gampang, Para petani yang terbiasa menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan hasil panen, ogah mencobanya. Dukungan pemerintah juga tak dia dapatkan.

Ilmu yang dia dapat dari Prof. Teruo kemudian digabungnya dengan usadha (pengobatan tradisional Bali). Penelitiannya yang tak kenal lelah akhirnya menghasilkan ramuan multimanfaat pada 1998. Ramuan itu diberi nama Minyak Oles Bokashi dengan memanfaatkan 135 jenis tanaman obat yang dikembangkan di kebun IPSA dengan metode EM. Melihat produknya mulai mendapat sambutan positif di pasar, Wididana akhirnya memutuskan memproduksi temuannya secara massal. Di tahun 2000, dengan modal Rp 20 juta dan dibantu lima karyawan, dia mendirikan pabrik di Desa Bengkel, Buleleng. Produknya pun berkembang kebidang pertanian yakni pupuk organik bokashi, dengan bendera perusahaan bernama PT Karya Pak Oles Tokcer.

Tak berhenti sampai di situ. Untuk keseimbangan lingkungan, Pak Oles juga meluncurkan Ecocity-1 untuk membersihkan lantai hingga menghilangkan bau pengap. Ini juga bisa dipakai buat memandikan hewan piaraan serta mencuci mobil. Lalu, ada produk yang diberi nama EM-4 untuk pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan pengolahan limbah, EM Toilet untuk menghilangkan bau tak sedap dari limbah WC; Sarula-3 untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil pertanian; dan Saferto-5 untuk mencegah serangan hama. Dalam waktu tak terlalu lama, variasi produknya sudah mencapai 24 jenis. Ini membuat pabriknya di Desa Bengkel tak sanggup lagi memenuhi permintaan pasar. Pak Oles lalu menambah satu pabrik lagi di Denpasar, sekaligus mendekati konsumennya. Meski telah memiliki dua pabrik, semua produknya tetap dipasarkan di bawah payung besar PT Karya Pak Oles Tokcer.

Saat ini pemasarannya tidak lagi terbatas di Bali, tapi sudah menjangkau Jakarta, dan kota-kota besar di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi dan Sumatera. Ekspornya, meski belum banyak, sudah menjangkau Jepang, Malaysia, Thailand, Korea, AS, Australia, Austria, dan beberapa negara Timur Tengah. Paparan di atas dengan gamblang menunjukkan keuletan dan konsistensi pria Bali yang satu ini dalam hal pertanian organik. Dia bergerak di bidang yang benar-benar dikuasainya. Rantai bisnisnya, meski kelihatan tidak seperti usaha pada umumnya, namun dibangun serius dari hulu ke hilir. Penyandang gelar Doktor dari American Institute Management Studies, Hawaii, ini memproduksi sendiri bahan baku yang dibutuhkan pabriknya. Sejak dulu Gede Ngurah Wididana  yakin, bila teknologi dan manajemen digabungkan, akan menghasilkan industri. Bila industri tersebut mendapat dukungan informasi yang akurat, akan menghasilkan barang dan jasa sesuai kebutuhan pasar. Keyakinan ini kemudian dirumuskan Gede Ngurah Wididana menjadi SIMT (Sistem Informasi Manajemen dan Teknologi) yang dipakainya untuk membangun jaringan bisnis. CHUS

TAGS :